Sunni dan Syiah banyak orang yang masih belum mengetahui secara
dasar apa sebenarnya dua hal itu. Banyak yang beranggapan Sunni dan Syiah
hanyalah sebagian dari sekte-sekte dalam islam. Sebenarnya pada masa Rasulullah
shalallahu alaihi wassalam dan para sahabat istilah tersebut belum
muncul, dua istilah tersebut muncul pada generasi-generasi setelahnya. Istilah Syiah
muncul ketika terjadi perpecahan kelompok diantara para sahabat pada peristiwa
perang Siffin. Dari peristiwa itu munculah tiga kelompok, yakni kelompok
kubu Muawiyyah, Khawarij, dan kubu Ali bin Abi Thalib. Lalu nama syiah inilah
dinisbatkan kepada kubu Ali, mereka yang berada di kubu Ali menyatakan sebagai Syiatu Ali atau Jama’atu Ali. Sedangkan
Sunni atau Ahlu Sunnah adalah istilah yang dinisbatkan kepada orang-orang yang
mengikuti Sunnah-Sunnah Rasul dan para sahabatnya dengan mutlak sesuai apa yang
di ajarkan oleh Rasulullah dalam kehidupan.
Lalu apa
sebenarnya perbedaan yang mendasar dari Sunni dan Syiah, sehingga mengapa kedua golongan dari awal muncul
hingga saat ini, jika kita lihat sering tidak akur, terjadi benturan dan
konfrontasi keras dalam berinteraksi, kecuali jika kedua golongan tersebut
melepaskan ideology mereka dalam perinteraksian kehidupan sehari hari maka baru
bisa menjadi terlihat akur. Mengutip dari diskusi bersama salah seorang
mahasiswa magister fakultas Islamic Studies IIUI al-Ustadz Su’ud Hassanuddin,
beliau menyatakan setidaknya ada 3 hal perbedaan yang mendasar pada dua
golongan tersebut. Yakni dalam sisi theology, sikap terhadap hadits-hadits dan
politik.
Dalam lingkup
teologi sebenarnya tidak serta merta memiliki perbedaan yang menyeluruh. Dalam
masalah Ilahiyyah Sunni dan Syiah memiliki keyakinan yang sama bahwa
mereka sama-sama beriman kepada Allah sebagai sang pencipta dan satu-satunya
yang harus disembah. Tapi di sisi lain dan di sisi iniah letak perbedaan yang
segnifikan dalam lingkup teology yakni masalah Nubuwwat. Dalam masalah
nubuwwat ini perbedaan bukan terletak pada pengakuan Muhammad sebagai
rasulullah, tapi dalam hal penyikapan mereka terhadap beberapa tokoh yang
memiliki kesamaan drajat dengan nabi. Dalam kalangan sunni Derajat nubuwwat ini
hanyalah untuk mereka para nabi atau rasul utusan Allah. Derajat nubuwwat ini
mencakup lingkupan kewahyuan kemudian kema’shuman dll. Orang-orang sunni
memiliki keyakinan bahwa orang yang mendapatkan wahyu hanyalah para utusan
Allah yakni para nabi dan rosul-Nya tidak untuk para sahabat ataupun imam-imam
setelahnya. Begitu juga dalam masalah ishmah atau terbebas dari dosa dan
kesalahan. Di kalangan sunni ishmah ini hanyalah untuk para rasul-Nya
tidak untuk orang lain, setakwa ataupun sealim siapapun itu tidak ada yang ma’shum
kecuali rasulullah.
Tapi hal diatas
sangat bertolak belakang dengan Syiah. Dalam golongan Syiah mereka memiliki
tokoh-tokoh kunci atau imam-imam khusus. Jika kita pernah melihat symbol-simbol
orang-orang syiah maka kita akan mendapati lambang lima jari kemudian bendera
berwarna hitam atau merah. Makna dari lima jari tersebut adalah wilayatul
ula yakni orang-orang yang memiliki atau mengalir didirinya darah kenabian.
Lima jari tersebut menyimbolkan Rasulullah, Ali, Fatimah, Hassan dan Hussein
serta para imam-imam setelahnya yang memiliki garis keturunan Rasulullah
melalui Hassan atau Hussein. Kemudian makna warna hitam adalah melambangkan
kewibawaan lalu makna warna merah adalah pengorbanan yang bermakna bahwa mereka
siap berkorban demi para tokoh-tokoh kunci mereka, apapun siap mereka lakukan.
Dan di sinilah letak poin perbedaannya bahwa mereka menganggap tokoh-tokoh
kunci itu bersama para imam-imam mereka adalah segalanya. Apapun yang dikatakan
oleh imam mereka adalah perintah dari Allah tidak ada kata salah bagi mereka,
hal ini seolah-olah berarti mereka menganggap imam-imam mereka itu menyerupai
nabi karena mereka akan taat terhadap apapun perkataannya dan memanggap mereka
sebagai sosok ma’shum yang terbebas dari dosa dan kesalahan. Bahkan lebih parahnya
lagi mereka menyerupakan imam-imam mereka selayaknya Tuhan, mengetahui hal-hal
yang ghaib dan sebagainya.
Kemudian dalam
masalah penyikapan dua golongan tersebut terhadap hadist. Sebenarnya dua
golongan tersebut memiliki keyakinan yang sama bahwa panduan hidup itu berasal
dari Al-Qur’an dan Sunnah Rosul (Hadist-hadist). Tapi letak perbedaan yang
mendasar ada pada pemilihan para perawi hadist terhadap hadist-hadist yang akan
di jadikan panduan atau di amalkan. Di kalangan Sunni mereka mengambil semua
hadist yang di riwayat kan oleh semua perowi hadist asalkan sananya shahih
ataupun yang lainnya sesuai derajat hadistnya. Dari siapapun sahabat yang
meriwayatkan hadist oleh kelompok sunni hadist tersebut diterima dan di
amalkan. Karena Sunni memandang bahwa semua para sahabat memiliki derajat yang
sama di mata islam. yang membedakan para sahabat adalah afdhaliyahnya
saja, yakni seperti memiliki kedekatan terhadap Rosul dan pengorbanannya
terhadap islam. maka di kalangan sunni mengenai perihal sahabat ini ada istilah
sahabat Khulafa ar rasyidin, lalu Asyroh al Mubasyirruna Bil Jannah, kemudian
ada sahabat Ahlu Badr dll. maka dalam masalah perowian hadist para ulama sunni tidak menolak mentah-mentah
sebuah hadist yang jalur sanadnya tidak kuat makanya mereka membuat
derajat-derajat hadist untuk mengurutkan tingkatan keshahihan hadist tersebut.
Oleh karenanya dikalangan sunni terdapat banyak kitab-kitab hadist disertai
pengklasifikasian tingkatan keshahihan hadist tersebut, seperti Kutubus
sitah, Asyrah, dll.
Tapi hal ini
sangat berbeda di kalangan Syiah atau Rafidhah. Di kalangan mereka juga
menggunakan hadits-hadits rasulullah sebagai pedoman. Tapi permasalahannya
adalah dalam pemilihan hadist-hadist yang akan di gunakan sebagai maroji
mereka. Dalam Syiah mereka hanya akan mengambil hadist-hadist yang diriwayatkan
oleh keluarga Ali, imam-imam mereka dan kalaupun mereka mengambil hadist yang
diriwayatkan sahabat diluar keluarga Ali yakni hanya sahabat-sahabat yang saat
itu berada di kubu Ali, semisal Salman Al-Farisi dll. Dan yang ini hanya
sedikit sekali, mereka lebih mengutamakan hadist-hadits yang diriwayatkan oleh
keluarga Ali. Kemudian juga mengutamakan hadits-hadits yang jalur sanadnya
harus melalui salah satu dari imam-imam mereka. Maka jika hadist-hadist
tersebut tidak sesuai syarat diatas makan mereka akan menolak mentah-mentah
hadits tersebut dan menyatakannya sebagai hadits palsu yang harus dihilangkan.
Hal ini terjadi karena di kalangan Syiah Rafidhah, mereka menggungkan sahabat
dari ahlu bait saja yakni dari keluarga Ali dan beberapa sahabat dari kelompok
Ali. Mereka tidak menganggap sahabat-sahabat lain diluar itu sebagai sahabat
Rasul, bahkan mereka mengkafirkan mereka, mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Ummul
Mukminin Aisyah dll. Oleh sebab itu mereka anti pati terhadap hadits-hadist
yang diriwayatkan oleh mereka dan menganggapnya sebagai hadist palsu dan bualan
mereka semata.
Kemudian masalah
ketiga adalah pandangan dua kalangan tersebut mengenai perpolitikan. Dua
kalangan tersebut memiliki perbedaan yang sangat segnifikan dalam hal ini. Di
kalangan Sunni berpendapat bahwa setiap orang islam berhak menjadi pemimpin.
Dalam masalah ini mereka mengenal istilah Syuro yakni bermusyawarah
dalam penentuan atau pengangkatan seorang pemimpin. Seperti saat pengangkatan
Khalifah setelah Rasulullah, dalam pengangkatan ini dilakukan melalui syuro
dikalangan Kibarus Shahabah, maka mufakatlah para kibarus shahabah
mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah pertama setelah Rasulullah shalallahu
alaihi wassalam. Kemudian di kalangan sunni makna taat terhadap pemimpin
adalah taat jika dalam hal kebenaran dan menegur jika dalam hal kemaksiatan
atau jika ada kebijakan yang salah atau tidak sesuai syariat.
Hal ini sangat
berbeda dikalangan Syiah. Mereka berkeyakinan bahwa yang layak menjadi pemimpin
hanyalah imam-imam mereka. Berawal dari keyakinan mereka yang seharusnya
khalifah setelah Rasulullah adalah Ali karena hal tersebut adalah langsung dari
perintah Allah. Kemudin berkeyakinan bahwa pemimpin mereka adalah imam yang dua
belas tidak ada yang pantas menjadi pemimpin selain mereka. Sembari menunggu
imam mereka yang terakhir muncul yakni yang mereka yakini sebagai imam mahdi
versi Syiah yang dahulu waktu kecilnya menghilang dan belum muncul sampai
sekarang. Maka Ayatullah Khomeiny berpendapat masa jeda antara imam-imam mereka
yang sebelas menuju imam ke dua belas yakni imam mahdi, maka masa ini disebut
sebagai Wilayatul Faqih yakni kepemipinan dari kalangan ulama mereka
yang pada zaman ini tumpuk kepemimpinan
tertinggi mereka berada di tangan Ayatullah Khomeniy sang pemimpin revolusi
Iran. Termasuk juga keyakinan tentang ketaatan terhadap pemimpin imam dua belas
yakni ketaatan yang mutlak harga mati. Apapun yang diucapkan oleh imam mereka
maka menjadi kebijakan public yang harus ditaati, benar ataupun salah tetap
ditaati tidak ada istilah islah bagi imam mereka. Ketaatan mutlak tersebut
adalah imbas dari keyakinan mereka bahwa imam-imam mereka adalah ma’shum dan
apa yang mereka katakan adalah wahyu dari Allah Command of Allah.
Tiga hal di atas
itulah perbedaan mendasar secara umum antara sunni dan syiah yang menyebabkan
selalu terjadi permusuhan dan ketidak akuran diantara keduanya. Yang tidak akan
mungkin bisa bersatu dan bertemu sampai kapanpun karena perbedaan dua kalangan
tersebut terdapat pada aspek ushuli atau aspek dasar dalam keimanan. maka wajar
dan benar para ulama ahlu sunnah dari kalangan salaf (terdahulu) maupun khalaf (kontemporer) jika syiah itu dihukumi sebagai
kafir Kharij minnal millah dan bukan bagian dari islam melainkan sudah
menjadi agama tersendiri yakni agama syiah karena keyakinan yang mereka miliki
sudah benar-benar melenceng dari ajaran islam yang dibawa Rasululloh shalallahu
Alaihi Wassalam. Wallahua’lam
No comments:
Post a Comment