Greet


Wednesday, December 5, 2012

SUNNI SYIAH DALAM PANDANGAN THEOLOGY DAN POLITIK

             Sunni dan Syiah banyak orang yang masih belum mengetahui secara dasar apa sebenarnya dua hal itu. Banyak yang beranggapan Sunni dan Syiah hanyalah sebagian dari sekte-sekte dalam islam. Sebenarnya pada masa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dan para sahabat istilah tersebut belum muncul, dua istilah tersebut muncul pada generasi-generasi setelahnya. Istilah Syiah muncul ketika terjadi perpecahan kelompok diantara para sahabat pada peristiwa perang Siffin. Dari peristiwa itu munculah tiga kelompok, yakni kelompok kubu Muawiyyah, Khawarij, dan kubu Ali bin Abi Thalib. Lalu nama syiah inilah dinisbatkan kepada kubu Ali, mereka yang berada di kubu Ali menyatakan sebagai Syiatu  Ali atau Jama’atu Ali. Sedangkan Sunni atau Ahlu Sunnah adalah istilah yang dinisbatkan kepada orang-orang yang mengikuti Sunnah-Sunnah Rasul dan para sahabatnya dengan mutlak sesuai apa yang di ajarkan oleh Rasulullah dalam kehidupan.

            Lalu apa sebenarnya perbedaan yang mendasar dari Sunni dan Syiah, sehingga  mengapa kedua golongan dari awal muncul hingga saat ini, jika kita lihat sering tidak akur, terjadi benturan dan konfrontasi keras dalam berinteraksi, kecuali jika kedua golongan tersebut melepaskan ideology mereka dalam perinteraksian kehidupan sehari hari maka baru bisa menjadi terlihat akur. Mengutip dari diskusi bersama salah seorang mahasiswa magister fakultas Islamic Studies IIUI al-Ustadz Su’ud Hassanuddin, beliau menyatakan setidaknya ada 3 hal perbedaan yang mendasar pada dua golongan tersebut. Yakni dalam sisi theology, sikap terhadap hadits-hadits dan politik.
            Dalam lingkup teologi sebenarnya tidak serta merta memiliki perbedaan yang menyeluruh. Dalam masalah Ilahiyyah Sunni dan Syiah memiliki keyakinan yang sama bahwa mereka sama-sama beriman kepada Allah sebagai sang pencipta dan satu-satunya yang harus disembah. Tapi di sisi lain dan di sisi iniah letak perbedaan yang segnifikan dalam lingkup teology yakni masalah Nubuwwat. Dalam masalah nubuwwat ini perbedaan bukan terletak pada pengakuan Muhammad sebagai rasulullah, tapi dalam hal penyikapan mereka terhadap beberapa tokoh yang memiliki kesamaan drajat dengan nabi. Dalam kalangan sunni Derajat nubuwwat ini hanyalah untuk mereka para nabi atau rasul utusan Allah. Derajat nubuwwat ini mencakup lingkupan kewahyuan kemudian kema’shuman dll. Orang-orang sunni memiliki keyakinan bahwa orang yang mendapatkan wahyu hanyalah para utusan Allah yakni para nabi dan rosul-Nya tidak untuk para sahabat ataupun imam-imam setelahnya. Begitu juga dalam masalah ishmah atau terbebas dari dosa dan kesalahan. Di kalangan sunni ishmah ini hanyalah untuk para rasul-Nya tidak untuk orang lain, setakwa ataupun sealim siapapun itu tidak ada yang ma’shum kecuali rasulullah.
            Tapi hal diatas sangat bertolak belakang dengan Syiah. Dalam golongan Syiah mereka memiliki tokoh-tokoh kunci atau imam-imam khusus. Jika kita pernah melihat symbol-simbol orang-orang syiah maka kita akan mendapati lambang lima jari kemudian bendera berwarna hitam atau merah. Makna dari lima jari tersebut adalah wilayatul ula yakni orang-orang yang memiliki atau mengalir didirinya darah kenabian. Lima jari tersebut menyimbolkan Rasulullah, Ali, Fatimah, Hassan dan Hussein serta para imam-imam setelahnya yang memiliki garis keturunan Rasulullah melalui Hassan atau Hussein. Kemudian makna warna hitam adalah melambangkan kewibawaan lalu makna warna merah adalah pengorbanan yang bermakna bahwa mereka siap berkorban demi para tokoh-tokoh kunci mereka, apapun siap mereka lakukan. Dan di sinilah letak poin perbedaannya bahwa mereka menganggap tokoh-tokoh kunci itu bersama para imam-imam mereka adalah segalanya. Apapun yang dikatakan oleh imam mereka adalah perintah dari Allah tidak ada kata salah bagi mereka, hal ini seolah-olah berarti mereka menganggap imam-imam mereka itu menyerupai nabi karena mereka akan taat terhadap apapun perkataannya dan memanggap mereka sebagai sosok ma’shum yang terbebas dari dosa dan kesalahan. Bahkan lebih parahnya lagi mereka menyerupakan imam-imam mereka selayaknya Tuhan, mengetahui hal-hal yang ghaib dan sebagainya.
            Kemudian dalam masalah penyikapan dua golongan tersebut terhadap hadist. Sebenarnya dua golongan tersebut memiliki keyakinan yang sama bahwa panduan hidup itu berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah Rosul (Hadist-hadist). Tapi letak perbedaan yang mendasar ada pada pemilihan para perawi hadist terhadap hadist-hadist yang akan di jadikan panduan atau di amalkan. Di kalangan Sunni mereka mengambil semua hadist yang di riwayat kan oleh semua perowi hadist asalkan sananya shahih ataupun yang lainnya sesuai derajat hadistnya. Dari siapapun sahabat yang meriwayatkan hadist oleh kelompok sunni hadist tersebut diterima dan di amalkan. Karena Sunni memandang bahwa semua para sahabat memiliki derajat yang sama di mata islam. yang membedakan para sahabat adalah afdhaliyahnya saja, yakni seperti memiliki kedekatan terhadap Rosul dan pengorbanannya terhadap islam. maka di kalangan sunni mengenai perihal sahabat ini ada istilah sahabat Khulafa ar rasyidin, lalu Asyroh al Mubasyirruna Bil Jannah, kemudian ada sahabat Ahlu Badr dll. maka dalam masalah perowian hadist  para ulama sunni tidak menolak mentah-mentah sebuah hadist yang jalur sanadnya tidak kuat makanya mereka membuat derajat-derajat hadist untuk mengurutkan tingkatan keshahihan hadist tersebut. Oleh karenanya dikalangan sunni terdapat banyak kitab-kitab hadist disertai pengklasifikasian tingkatan keshahihan hadist tersebut, seperti Kutubus sitah, Asyrah, dll.
            Tapi hal ini sangat berbeda di kalangan Syiah atau Rafidhah. Di kalangan mereka juga menggunakan hadits-hadits rasulullah sebagai pedoman. Tapi permasalahannya adalah dalam pemilihan hadist-hadist yang akan di gunakan sebagai maroji mereka. Dalam Syiah mereka hanya akan mengambil hadist-hadist yang diriwayatkan oleh keluarga Ali, imam-imam mereka dan kalaupun mereka mengambil hadist yang diriwayatkan sahabat diluar keluarga Ali yakni hanya sahabat-sahabat yang saat itu berada di kubu Ali, semisal Salman Al-Farisi dll. Dan yang ini hanya sedikit sekali, mereka lebih mengutamakan hadist-hadits yang diriwayatkan oleh keluarga Ali. Kemudian juga mengutamakan hadits-hadits yang jalur sanadnya harus melalui salah satu dari imam-imam mereka. Maka jika hadist-hadist tersebut tidak sesuai syarat diatas makan mereka akan menolak mentah-mentah hadits tersebut dan menyatakannya sebagai hadits palsu yang harus dihilangkan. Hal ini terjadi karena di kalangan Syiah Rafidhah, mereka menggungkan sahabat dari ahlu bait saja yakni dari keluarga Ali dan beberapa sahabat dari kelompok Ali. Mereka tidak menganggap sahabat-sahabat lain diluar itu sebagai sahabat Rasul, bahkan mereka mengkafirkan mereka, mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Ummul Mukminin Aisyah dll. Oleh sebab itu mereka anti pati terhadap hadits-hadist yang diriwayatkan oleh mereka dan menganggapnya sebagai hadist palsu dan bualan mereka semata.
            Kemudian masalah ketiga adalah pandangan dua kalangan tersebut mengenai perpolitikan. Dua kalangan tersebut memiliki perbedaan yang sangat segnifikan dalam hal ini. Di kalangan Sunni berpendapat bahwa setiap orang islam berhak menjadi pemimpin. Dalam masalah ini mereka mengenal istilah Syuro yakni bermusyawarah dalam penentuan atau pengangkatan seorang pemimpin. Seperti saat pengangkatan Khalifah setelah Rasulullah, dalam pengangkatan ini dilakukan melalui syuro dikalangan Kibarus Shahabah, maka mufakatlah para kibarus shahabah mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah pertama setelah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Kemudian di kalangan sunni makna taat terhadap pemimpin adalah taat jika dalam hal kebenaran dan menegur jika dalam hal kemaksiatan atau jika ada kebijakan yang salah atau tidak sesuai syariat.
            Hal ini sangat berbeda dikalangan Syiah. Mereka berkeyakinan bahwa yang layak menjadi pemimpin hanyalah imam-imam mereka. Berawal dari keyakinan mereka yang seharusnya khalifah setelah Rasulullah adalah Ali karena hal tersebut adalah langsung dari perintah Allah. Kemudin berkeyakinan bahwa pemimpin mereka adalah imam yang dua belas tidak ada yang pantas menjadi pemimpin selain mereka. Sembari menunggu imam mereka yang terakhir muncul yakni yang mereka yakini sebagai imam mahdi versi Syiah yang dahulu waktu kecilnya menghilang dan belum muncul sampai sekarang. Maka Ayatullah Khomeiny berpendapat masa jeda antara imam-imam mereka yang sebelas menuju imam ke dua belas yakni imam mahdi, maka masa ini disebut sebagai Wilayatul Faqih yakni kepemipinan dari kalangan ulama mereka yang pada zaman  ini tumpuk kepemimpinan tertinggi mereka berada di tangan Ayatullah Khomeniy sang pemimpin revolusi Iran. Termasuk juga keyakinan tentang ketaatan terhadap pemimpin imam dua belas yakni ketaatan yang mutlak harga mati. Apapun yang diucapkan oleh imam mereka maka menjadi kebijakan public yang harus ditaati, benar ataupun salah tetap ditaati tidak ada istilah islah bagi imam mereka. Ketaatan mutlak tersebut adalah imbas dari keyakinan mereka bahwa imam-imam mereka adalah ma’shum dan apa yang mereka katakan adalah wahyu dari Allah Command of Allah.
            Tiga hal di atas itulah perbedaan mendasar secara umum antara sunni dan syiah yang menyebabkan selalu terjadi permusuhan dan ketidak akuran diantara keduanya. Yang tidak akan mungkin bisa bersatu dan bertemu sampai kapanpun karena perbedaan dua kalangan tersebut terdapat pada aspek ushuli atau aspek dasar dalam keimanan. maka wajar dan benar para ulama ahlu sunnah dari kalangan salaf (terdahulu) maupun khalaf  (kontemporer) jika syiah itu dihukumi sebagai kafir Kharij minnal millah dan bukan bagian dari islam melainkan sudah menjadi agama tersendiri yakni agama syiah karena keyakinan yang mereka miliki sudah benar-benar melenceng dari ajaran islam yang dibawa Rasululloh shalallahu Alaihi Wassalam. Wallahua’lam

No comments:

Post a Comment